News Ticker

Sepulang Les Jerman 18 Mei 2015: Kamu Islam yang Mana?

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

In the name of Allah, the Most Beneficient, the Most Merciful

Hola.. Berhubung di sini masih pagi, dan saya lagi ada di tengah-tengah coffee break, saya mau share 2 hal yang menurut saya cukup menarik di dalam hidup saya. Relatif panjang memang, tapi semoga berguna. :)

1. Kamu Islam yang mana?

Singkat cerita saya lagi les Jerman, dan topik yang lagi dibahas saat itu adalah tentang “apa yang kamu lakukan liburan kemarin?”. Awalnya si pelajaran berjalan normal, si A liburan ke rumahnya di Spanyol, si B belajar, si C party, dlsb dlsb, sampai suatu ketika ada teman saya (katakan namanya si M) yang menjawab bahwa dia ikut “crash course” tentang “Pendahuluan tentang Islam Syiah”. Sebuah topik yang gak biasa diambil oleh peserta kursus (FYI, si M ini berasal dari US, dan bidangnya jurnalistik).

Seperti yang telah diduga, topik di kelas pun jadi membahas tentang Islam syiah ini. Awalnya guru saya bertanya kepada teman-teman saya yang berasal dari Bosnia, lalu kemudian entah kenapa guru saya bertanya ke saya tentang ini (guru saya sebelum detik ini tidak tahu kalau saya adalah muslim), dan bertanya tentang syiah. Okeh, mungkin kita tahu bawa cara shalat kaum syiah tidak sama di beberapa bagian dengan shalat yang kita jalani (yap, saya pernah melihat mereka shalat di mushala kampus), tapi saya memilih untuk tidak menyertakan itu dalam jawaban saya. Saat itu saya mencoba menjawab dengan jawaban yang menurut saya relatif bisa diterima oleh masyarakat umum. Bagaimana jawabannya?

Sebagai seorang muslim, maka umat Islam meyakini bahwa Muhammad SAW adalah seorang Nabi dan utusan Allah. Dan setelah beliau meninggal, maka ada 4 orang pemimpin besar di dalam Islam (berurutan), yaitu Abu Bakar RA, Umar RA, Utsman RA, dan Ali RA. Perbedaan antara Islam Sunni dan Syiah adalah Islam Sunni menganggap keempat orang tersebut adalah manusia biasa, sedangkan syiah menganggap Ali RA patut untuk dimuliakan. Di mana menurut Sunni, cara memuliakannya itu adalah salah dan sangat berlebihan.

Kemudian guru saya bertanya: “Kalau anda Islam yang mana? Syiah? atau Sunni?”. Saya pun menjawab, “Saya orang Islam biasa. Hanya Islam tanpa embel-embel.”. Saat itu guru saya menampakkan wajah kurang puas dan bertanya kembali: “Lalu bagaimana pendapat anda tentang Syiah ini?” lalu saya meneruskan:

“Saya memiliki beberapa hal yang saya yakini dan saya jalani, namun demikian, saya percaya bahwa di akhir hari setiap orang harus mempertanggungjawabkan setiap perbuatan yang telah mereka lakukan. Oleh karena itu saya memilih untuk tidak ambil pusing dengan apa yang mereka yakini dan jalankan, selama saya bisa menjalankan apa yang saya yakini adalah benar.”

“Jadi anda adalah Islam toleran?” guru saya menambahkan. “Hm, bisa dikatakan seperti itu” jawab saya. Di detik ini saya menyadari bahwa di luar sana ada cap yang cukup kuat tentang Islam, bahwa mereka meyakini bahwa Islam radikal adalah bagian dari Islam. Sejujurnya saya ingin menambahkan kepada guru saya bahwa orang yang mempelajari Islam secara benar dan berdasarkan kepada Al Qur’an dan Hadist pasti akan bersifat toleran dan menyenangkan, akan tetapi saya menyimpan itu untuk diskusi lain hari, karena pelajaran sudah harus dilanjutkan.

Jadi apa pelajaran dari point nomer 1 ini? Pelajarannya adalah, sebagai seorang muslim/muslimah, kemungkinan besar di dalam hidup kita, kita akan berada di dalam momen yang mengharuskan kita untuk menjelaskan tentang Islam kepada sekumpulan non-muslim. Dan ketika hal ini terjadi, cobalah untuk memilih kata-kata yang bisa mereka cerna, namun tetap dengan menggambarkan apa itu islam, dan sesuaikanlah dengan alokasi dan tipe diskusi yang sedang berjalan.

2. “Islam” dan Iran.

Sepulangnya dari les, saya bertemu dengan teman serumah saya yang berkebangsaan Iran, dan saat itu juga saya teringat bahwa Syiah adalah agama yang dominan di negara Iran. Kemudian saya pun memutuskan untuk berdiskusi dengan teman saya tentang kondisi Islam di negaranya. Dari diskusi saya dengan teman saya tersebut ada beberapa hal yang ingin saya share, dan juga pelajaran yang mungkin bisa diambil.

a. “Islam” adalah sebuah kewajiban di Iran, dan bukan merupakan sebuah pilihan.

Saya tahu bahwa “Islam” adalah agama mayoritas di Iran, akan tetapi saya tidak pernah tahu bahwa “Islam” adalah sesuatu yang dipaksakan di sana. Singkat kata, untuk menjadi warga negara Iran, maka kita semua harus beragama “Islam”, begitu pula jika 2 orang ingin menikah dan diakui oleh negara Iran, maka kedua orang tersebut harus berktp “Islam”. Singkat kata, Islam bukanlah sebuah pilihan yang dilindungi oleh undang-undang seperti halnya di Indonesia, melainkan sebuah keharusan dalam bernegara.

b. Imam memiliki pengaruh yang besar di Iran.

Teman saya menjelaskan bahwa pemimpin tertinggi (secara de facto) di Iran bukanlah presiden ato sejenisnya, akan tetapi imam, dan imam inilah yang membuat peraturan ini dan itu yang merepotkan. Dan teman saya berkata bahwa adapun peraturan yang memaksakan “Islam” di sana adalah peraturan yang dibuat agar sang imam tidak kehilangan kekuasaannya. Untuk poin b ini saya kurang bisa mengambil kesimpulan apakah sang imam memang benar-benar takut untuk kehilangan pengaruhnya atau tidak (karena dalamnya hati seseorang tidak ada yang pernah tahu bukan?), akan tetapi saya mencoba mempertanyakan kepada diri saya sendiri tentang kenapa teman saya itu bisa segitu berpandangan negatifnya terhadap sang imam. Tapi sepertinya akan saya simpan saja untuk saat ini, dan semoga saja suatu saat nanti saya bisa menemukan sebuah jawaban yang tidak hanya menduga-duga. :)

c. Sebagian besar anak muda di sana minum alkohol.

Satu pertanyaan yang saya ajukan setelah mendengarkan penjelasan teman saya yang panjang lebar tentang “Islam” di Iran adalah: “Jadi maksud kamu di sana banyak orang yang mengkonsumsi alkohol?” begini jawaban teman saya: “Tentu saja! Tapi tentunya tidak secara bebas dan publik, karena itu terlarang secara hukum, Tapi saya bisa mengatakan bahwa sebagian besar anak muda di sana mengkonsumsi alkohol, sekitar 90 persen”. Perlu dicatat bahwa 90 persen ini kemungkinan besar merupakan sesuatu yang berlebihan, tapi yang harus kita catat adalah mengkonsumsi alkohol bukan merupakan hal tabu di antara anak muda yang ada di Iran.

Oh iya, mungkin ada yang menyadari kenapa saya banyak menggunakan kata “Islam” dan bukan Islam di dalam point kedua ini, karena saya ingin menjelaskan kenapa saya menggunakan “Islam” dan bukan Islam. Kenapa saya menggunakan “Islam”? Karena itu bukanlah Islam yang selama ini saya pelajari, setidaknya tidak ada di seantero Al Qur’an dan Hadist yang pernah saya baca (kalau ada tolong ingatkan saya). Di dalam Al Qur’an dan Hadist tidak pernah sekalipun saya mendapatkan bahwa Islam adalah sebuah paksaan! Yang saya tahu selama ini adalah bahwa Islam itu merupakan sebuah jalan yang benar, akan tetapi memeluknya adalah sebuah pilihan yang tidak bisa dipaksakan! Bahkan hak non muslim untuk hidup di dalam negara yang Islami pun dijamin oleh pemerintah dan harus diperlakukan dengan baik (selama tidak membuat kekacauan).

Jadi apa pelajaran dari poin nomer 2 ini? Dari poin nomer 2 ini bisa kita ambil pelajaran bahwa kita bisa memaksa seseorang untuk menjadi sesuatu di atas kertas, akan tetapi tidak akan pernah bisa untuk mengubah apa yang benar-benar mereka yakini dan jalani. Dan perlu dicatat bahwa kalaupun kita berhasil untuk membuat seseorang menjadi “Islam” secara paksa, maka ketahuilah bahwa hal tersebut adalah hal yang rapuh dan hanya akan berlaku di luar saja. Dan saya yakin bahwa ini bukan hal yang kita harapkan bukan?

Kesimpulan

Jadi apa kesimpulan dari tulisan yang panjang lebar ini? Menurut saya kesimpulannya adalah kita harus mempelajari Islam dengan baik dan menerapkannya dengan nyata di dalam kehidupan kita sehari-hari. Kenapa? Agar kita bisa menjadi duta Islam yang baik di dalam kehidupan kita sehari-hari. Karena dengan menjalankan Islam secara baik dan sungguh-sungguh, maka kita akan bisa menjadi duta Islam yang baik, dan pastinya akan bisa menjawab pertanyaan nomer 1 di atas dengan baik (bahkan bisa memberikan jawaban yang jauh lebih baik dan mengena dibandingkan dengan jawaban yang saya berikan). Di samping itu, kita juga akan bisa menyebarkan dan membangun masyarakat yang Islami tanpa harus memaksa mereka untuk berKTP Islam. Karena sebenarnya dakwah yang paling efektif yang bisa kita lakukan adalah dengan menjadi benar-benar Islam di dalam sikap dan perbuatan yang kita lakukan di dalam perbuatan kita sehari-hari, dan bukan dengan kediktatoran ataupun retorika belaka.

Semoga Allah SWT selalu menjaga kita dan menunjuki kita jalan yang lurus.

وَ السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ

About wahidyankf (186 Articles)
JavaScript Developer. His life-motto is "Learning, Dreaming, and Enjoying life".

7 Comments on Sepulang Les Jerman 18 Mei 2015: Kamu Islam yang Mana?

  1. kak boleh minta follback wordpress??

    Like

  2. Subhanallah akh Yoka, bermanfaat sekali tulisannya. Izin share ya… :D

    Like

Leave a reply to indraachen Cancel reply